Author : UnknownTidak ada komentar
Pagi itu, pagi masih gelap. Seorang tamu mengetuk pintu rumah Kolonel Sarwo Edhi; Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat atau yang lebih dikenal dengan istilah RPKAD.
Kolonel Sarwo keluar menemui tamu di pagi buta itu. Orang itu bernama Subardi, ajudan Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani.
Subardi menangis. Ia melaporkan bahwa atasannya Jenderal Ahmad Yani tadi malam, tepatnya 29 September telah ditembak dan dibawa oleh sekelompok tentara menjelang subuh. Ia minta Pak Sarwo Edhi mencari Pak Ahmad Yani.
Kolonel Sarwo segera berangkat mengumpulkan para perwira menuju Cijantung. Di sana ia sedang menunggu laporan berita dari RRI. Tepat pukul tujuh pagi, Letnan Kolonel Untung menyiarkan Gerakan 30 September dan Pembentukan Dewan Revolusi. Mereka menyimpulkan terjadinya kudeta.
Di Markas Kostrad di Jalan Medan Merdeka Timur, Sarwo dan Soeharto sedang membahas situasi. Di sana mereka mengambil posisi siaga satu. Sore harinya, Soeharto memerintahkan Kolonel Sarwo Edhi merebut RRI dan Kantor Telekomunikasi.
Kantor RRI yang semula dikuasai oleh Pemuda Rakyat organisasi underbow PKI segera menyingkir ketika kedatangan pasukan Kostrad yang dipimpin oleh Letda Sintong Panjaitan; bawahan Letkol Sarwo Edhi.
Pada pukul 18.00 mereka menuju RRI dan berhasil menguasai setengah jam setelahnya. Kantor Telekomunikasi pun juga berhasil direbut oleh Kompi Urip.
Di Markas Kostrad, Sarwo gelisah menunggu perintah Soeharto. Soeharto belum memutuskan kapan penyerangan ke Halim Perdana Kusuma yang merupakan basis kekuatan PKI.
Sarwo Edhi menyerobot masuk ruang panglima. Di sana ternyata sudah ada Menteri Koordinator Pertahanan Jenderal Abdul Haris Nasution yang selamat dari penculikan. Soeharto tampak mondar mandir, "Ini bagaimana, Pak? Kita jadi Halim apa tidak?" kata Sarwo. "Kalau jadi, harus bergerak sebelum fajar."
Setelah mendapat izin perintah dari Soeharto, Sarwo Edhi segera bermanuver. Untuk mengecoh musuh, pasukan kaveleri bergerak sepanjang malam di dalam kota. Regu lain masuk secara diam-diam dari arah Klender.
Tepat pada pukul 06.00, semua kompi bergerak ke arah area lapangan udara. Kurang dari seperampat jam, Halim Perdana Kusuma dapat kembali dikuasai tanpa perlawanan yang berarti.
Pada mulanya Halim Perdana Kusuma dikuasai oleh pasukan Cakrabirawa dibawah komando Letkol. Untung yang bergabung dengan PKI. Lawan terkecoh, karena tidak menyadari dikepung dari arah belakang.
Sarwo Edhi menuju Halim pada pukul 10.00. Ia hendak menemui Soekarno. Informasi yang ia terima Presiden sedang berada di sana juga. Mayor Santosa menyarankan atasannya itu melalui arah Klender yang telah disetrilkan. Namun, dengan alasan mengejar waktu, Sarwo akan melewati arah Pondok Gede.
Benar, setelah melawati arah Pondok Gede menuju Halim, Sarwo Edhi dan pasukannya berhadapan dengan pasukan PKI. Terjadilah kontak senjata. Sarwo dan pasukannya menyingkir ke Pos Komando di Pondok Gede.
Di sana ia dan pasukannya bertemu dengan Sukitman; seorang polisi yang menjadi korban salah tangkap PKI yang juga dibawa ke Lubang Buaya bersama Para Jenderal.
Dari keterangan informasi Sukitman inilah kemudian didapatkan informasi dimana para Jenderal itu disiksa dan dikuburkan.
Jadi sungguh tidak benar, jika ada tuduhan yang tidak berdasar yang dialamatkan ke Soeharto, bahwa ia sebelumnya telah mengetahui rencana PKI dan dimana para Jenderal itu disiksa dan dibunuh.
Fakta sejarah jelas menyatakan bahwa satu-satunya saksi kunci dimana lokasi Para Jenderal disiksa dan dibunuh hanyalah Sukitman yang berhasil selamat.
Pada awalnya pada malam penculikan, Sukitman yang merupakan anggota Kepolisian sektor Kebayoran Baru ikut tertangkap saat sedang menjalankan tugas berpatroli di Jalan Iskandarsyah, bertepatan malam penculikan para Jenderal.
Ia ikut dibawa ke lokasi Lubang Buaya dan menyaksikan langsung dimana para Jenderal disiksa dan dibunuh. Apa yang dideskripsikan pada Film G30S/PKI persis seperti apa yang dilihat dan dialami sendiri oleh Sukitman.
Beruntungnya, Sukitman tidak disiksa dan tidak dibunuh. Menjelang pagi hari 01 Oktober, Sukitman dibawa dari lokasi Lubang Buaya menuju Halim Perdana Kusuma.
Ketika terjadi kontak senjata pada keesokan harinya, tepat pukul 10.00 pagi, Sukitman yang saat itu berada di dalam truk yang membawanya, segera berlindung menyelamatkan diri di bawah truk, hingga ia tertidur.
Ketika usai terjadi kontak senjata, pasukan Cakrabirawa pergi meninggalkannya. Saat itulah, ia dibangunkan oleh salah satu tentara RPKAD dibawah komando Sarwo Edhi.
Disanalah Sukitman dimintai keterangan tentang peristiwa yang ia alami pada malam kejadian mengenaskan itu. Sukitman adalah saksi kunci.
Sarwo Edhi Wibowo adalah Komandan penumpasan gerakan G30S/PKI sesungguhnya. Dan beliau adalah ayah dari Ibu Ani Yudhoyono sekaligus mertua dari Presiden RI ke-6 Bapak Susilo Bambang Yudhoyono.
Kolonel Sarwo keluar menemui tamu di pagi buta itu. Orang itu bernama Subardi, ajudan Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani.
Subardi menangis. Ia melaporkan bahwa atasannya Jenderal Ahmad Yani tadi malam, tepatnya 29 September telah ditembak dan dibawa oleh sekelompok tentara menjelang subuh. Ia minta Pak Sarwo Edhi mencari Pak Ahmad Yani.
Kolonel Sarwo segera berangkat mengumpulkan para perwira menuju Cijantung. Di sana ia sedang menunggu laporan berita dari RRI. Tepat pukul tujuh pagi, Letnan Kolonel Untung menyiarkan Gerakan 30 September dan Pembentukan Dewan Revolusi. Mereka menyimpulkan terjadinya kudeta.
Di Markas Kostrad di Jalan Medan Merdeka Timur, Sarwo dan Soeharto sedang membahas situasi. Di sana mereka mengambil posisi siaga satu. Sore harinya, Soeharto memerintahkan Kolonel Sarwo Edhi merebut RRI dan Kantor Telekomunikasi.
Kantor RRI yang semula dikuasai oleh Pemuda Rakyat organisasi underbow PKI segera menyingkir ketika kedatangan pasukan Kostrad yang dipimpin oleh Letda Sintong Panjaitan; bawahan Letkol Sarwo Edhi.
Pada pukul 18.00 mereka menuju RRI dan berhasil menguasai setengah jam setelahnya. Kantor Telekomunikasi pun juga berhasil direbut oleh Kompi Urip.
Di Markas Kostrad, Sarwo gelisah menunggu perintah Soeharto. Soeharto belum memutuskan kapan penyerangan ke Halim Perdana Kusuma yang merupakan basis kekuatan PKI.
Sarwo Edhi menyerobot masuk ruang panglima. Di sana ternyata sudah ada Menteri Koordinator Pertahanan Jenderal Abdul Haris Nasution yang selamat dari penculikan. Soeharto tampak mondar mandir, "Ini bagaimana, Pak? Kita jadi Halim apa tidak?" kata Sarwo. "Kalau jadi, harus bergerak sebelum fajar."
Setelah mendapat izin perintah dari Soeharto, Sarwo Edhi segera bermanuver. Untuk mengecoh musuh, pasukan kaveleri bergerak sepanjang malam di dalam kota. Regu lain masuk secara diam-diam dari arah Klender.
Tepat pada pukul 06.00, semua kompi bergerak ke arah area lapangan udara. Kurang dari seperampat jam, Halim Perdana Kusuma dapat kembali dikuasai tanpa perlawanan yang berarti.
Pada mulanya Halim Perdana Kusuma dikuasai oleh pasukan Cakrabirawa dibawah komando Letkol. Untung yang bergabung dengan PKI. Lawan terkecoh, karena tidak menyadari dikepung dari arah belakang.
Sarwo Edhi menuju Halim pada pukul 10.00. Ia hendak menemui Soekarno. Informasi yang ia terima Presiden sedang berada di sana juga. Mayor Santosa menyarankan atasannya itu melalui arah Klender yang telah disetrilkan. Namun, dengan alasan mengejar waktu, Sarwo akan melewati arah Pondok Gede.
Benar, setelah melawati arah Pondok Gede menuju Halim, Sarwo Edhi dan pasukannya berhadapan dengan pasukan PKI. Terjadilah kontak senjata. Sarwo dan pasukannya menyingkir ke Pos Komando di Pondok Gede.
Di sana ia dan pasukannya bertemu dengan Sukitman; seorang polisi yang menjadi korban salah tangkap PKI yang juga dibawa ke Lubang Buaya bersama Para Jenderal.
Dari keterangan informasi Sukitman inilah kemudian didapatkan informasi dimana para Jenderal itu disiksa dan dikuburkan.
Jadi sungguh tidak benar, jika ada tuduhan yang tidak berdasar yang dialamatkan ke Soeharto, bahwa ia sebelumnya telah mengetahui rencana PKI dan dimana para Jenderal itu disiksa dan dibunuh.
Fakta sejarah jelas menyatakan bahwa satu-satunya saksi kunci dimana lokasi Para Jenderal disiksa dan dibunuh hanyalah Sukitman yang berhasil selamat.
Pada awalnya pada malam penculikan, Sukitman yang merupakan anggota Kepolisian sektor Kebayoran Baru ikut tertangkap saat sedang menjalankan tugas berpatroli di Jalan Iskandarsyah, bertepatan malam penculikan para Jenderal.
Ia ikut dibawa ke lokasi Lubang Buaya dan menyaksikan langsung dimana para Jenderal disiksa dan dibunuh. Apa yang dideskripsikan pada Film G30S/PKI persis seperti apa yang dilihat dan dialami sendiri oleh Sukitman.
Beruntungnya, Sukitman tidak disiksa dan tidak dibunuh. Menjelang pagi hari 01 Oktober, Sukitman dibawa dari lokasi Lubang Buaya menuju Halim Perdana Kusuma.
Ketika terjadi kontak senjata pada keesokan harinya, tepat pukul 10.00 pagi, Sukitman yang saat itu berada di dalam truk yang membawanya, segera berlindung menyelamatkan diri di bawah truk, hingga ia tertidur.
Ketika usai terjadi kontak senjata, pasukan Cakrabirawa pergi meninggalkannya. Saat itulah, ia dibangunkan oleh salah satu tentara RPKAD dibawah komando Sarwo Edhi.
Disanalah Sukitman dimintai keterangan tentang peristiwa yang ia alami pada malam kejadian mengenaskan itu. Sukitman adalah saksi kunci.
Sarwo Edhi Wibowo adalah Komandan penumpasan gerakan G30S/PKI sesungguhnya. Dan beliau adalah ayah dari Ibu Ani Yudhoyono sekaligus mertua dari Presiden RI ke-6 Bapak Susilo Bambang Yudhoyono.
Artikel Terkait
Posted On : Minggu, 01 Oktober 2017Time : Oktober 01, 2017